Selasa, 29 Juni 2010

hati vs nash

Suara hati memang sangat penting. Pendapat apapun yang disampaikan orang terhadap suatu perkara, suara hati tetap harus lebih diutamakan. Karena sejatinya, dialah yang paling jernih menentukan langkah yang benar atau salah.

Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut. Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.


Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu, segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya – lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195)

Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at – shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.

Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)

Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga, akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada. Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36). Wallahu a’lam bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar