Selasa, 29 Juni 2010

Memang tidak untuk dibawa

Terkadang ummahat memiliki pertanyaan tentang boleh tidaknya membawa anak dalam sebuah acara. Tidak jarang beberapa ikhwah bersepakat untuk melakukan rihlah tanpa membawa istri dan anak-anak mereka. Beberapa undangan mencantumkan permohonan untuk tidak membawa anak di bawah lima tahun. Sapaan akrab semacam, "Anak-anak enggak dibawa, Bu?" atau "Sendiri nih, istri ditinggal?" mungkin kerap terdengar di keseharian kita. Pernah pula seorang pembicara seminar keluarga dengan bersemangat bercerita tentang bagaimana ia dan suaminya berbagi tugas membawa anak dalam acara-acara mereka.

Sebaliknya, kita jarang mendengar pertanyaan tentang boleh tidaknya mengajak anak; sejarang itu pula kita menyepakati untuk tidak melibatkan suami atau istri kita dalam sebuah acara. Undangan yang menyebutkan permohonan untuk tidak mengajak anak di bawah usia 5 tahun juga langka dalam keseharian kita. Sapaan-sapaan yang menggunakan kata’ajak’ masih lebih jarang terdengar daripada sapaan yang menggunakan ‘bawa’ atau ‘membawa’.

Fenomena di atas bisa saja kita tatap sekadar sebagai sebuah diksi. Tetapi, bisa pula kita tatap sebagai sebuah ekspresi dari sebuah perlakuan. Kata ‘bawa’ atau ‘membawa’ membutuhkan objek yang berbeda dengan kata ‘ajak’ atau mengajak’. Untuk objek barang atau binatang, mungkin, kata ‘bawa’ atau ‘membawa’ cukup memadai. Berbeda halnya jika objek tersebut adalah istri atau suami, anak dan kawan atau saudara, kata ‘ajak’ atau ‘mengajak’ tampaknya lebih tepat, lebih santun, dan lebih menghargai.

Dengan sedikit mempertimbangkan pemilihan kata maka pertanyaan serasa lebih menghargai jika menjadi, "Boleh mengajak suami, Bu?" Kesepakatan para ikhwah menjadi lebih santun dengan sebuah kesepakatan untuk tidak mengajak istri dan anak-anak. Catatan tambahan sebuah undangan serasa lebih enak dibaca dengan mengubahnya menjadi permohonan untuk tidak mengajak anak di bawah usia 5 tahun. Sapaan-sapaan kita tetap akrab atau bahkan menjadi lebih akrab dengan mengubah ‘bawa’ dengan ‘ajak’ untuk istri, suami, atau anak-anak.

Istri atau suami kita memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, istri atau suami dan anak-anak adalah mad’u bagi para dai di jalan Allah. Jika Hasan Al-Banna secara umum menyebutkan bahwa dakwah di jalan Allah memerlukan tiga pilar, yaitu pemahaman, keimanan, dan kecintaan. Maka berdakwah kepada istri/suami dan anak-anak juga memerlukan ketiga pilar tersebut. Maksud dari pilar kecintaan adalah sebuah perasaan cinta yang kuat terhadap dakwah dan terhadap sesama pendukung dakwah. Perasaan cinta ini juga dituntut dalam dakwah keluarga ini.

Di sisi yang lain, mungkin istri kita juga seorang daiyah yang memiliki sekian taklim, sekian liqa’, dan menjadi pembicara yang laris. Sebagaimana halnya dengan suami para daiyah tersebut. Mereka adalah para dai yang memiliki amanah dakwah yang besar.

Oleh karena itu, keluarga dai adalah tempat bertemunya dua juru nasihat, dua pemberi peringatan, dua orang yang senantiasa optimis dalam hidupnya, dua pembaru, dua aktivis, dua ustadz, dua pejuang, dua pemimpin umat, dan dua lain-lainnya.

Keluarga dai memang harus dinamis. Di dalam keluarga itu harus ada nasihat untuk juru nasihat; harus ada peringatan untuk pihak yang terbiasa memberikan peringatan; harus ada penumbuhan optimisme kepada orang yang tampak selalu optimis; harus ada perlindungan kepada orang-orang yang terbiasa berada di bagian terdepan di medan pertempuran; harus ada pembaruan kepada para pembaru; harus ada tatsqif kepada dua ustadz secara timbal balik; harus ada penumbuhan semangat di dalamnya. Hanya dengan itu, keluarga dai menjadi dinamis.

Didorong oleh tuntutan adanya timbal balik dakwah dalam keluarga dai maka meletakkan suami atau istri di pihak yang lain sebagai manusia dewasa adalah sebuah prinsip. Menggunakan kata ‘ajak’ sebagai ganti kata ‘bawa’ adalah sebuah hal yang layak untuk dipertimbangkan. Manusia dewasa adalah pihak yang yang patut dihormati dan dihargai. Dengan menghormatinya, suami atau istri dan mungkin anak-anak akan terpacu untuk berpikir dan mengemukakan pendapatnya. Dengan menghargainya, ia akan terhindar dari kematian semangat dan gairah hidup. Dinamis atau tidaknya keluarga dai ditentukan oleh peran serta take and give di antara istri dan suami serta anakanak. Istri aktif memberi dan menerima, demikian pula dengan suami terhadap istrinya.

Akhirnya, memberi dan menerima memang bukan urusan membawa atau dibawa, tetapi lebih kepada persoalan mengajak atau diajak. Sudahkah Anda tarbiyah? Sudahkah Anda tarbiyah adalah sudahkah Anda menghargai pasangan Anda? Sudahkah tarbiyah adalah sudahkah Anda mengajak pasangan dan keluarga Anda? Wallahua’lam.

0 komentar:

Posting Komentar