Selasa, 29 Juni 2010

Peduli

Kalau bisa diibaratkan seperti mobil atau motor, perilaku hidup sebagian orang selalu ingin ngebut. Selalu ingin cepat sampai. Tak peduli dengan urusan warna-warni pepohonan yang dilewati. Tak mau tahu dengan pengendara lain yang mungkin tersinggung. Bahkan, tak sadar dengan rambu-rambu jalan yang sempat terlanggar.


Dalam keadaan seperti itu, mungkin perilaku-perilaku di atas bisa dianggap wajar. Karena seluruh potensi tubuh sedang menuju satu titik: tujuan atau target. Satu titik tadi memaksa seluruh komponen tubuh untuk tidak memperhatikan yang lain. Kecuali, menjaga kecepatan. Pandangan mata selalu ke depan, pikiran tertuju pada gas dan rem, dan beberapa jari siaga di tombol klakson.

Masih juga dalam kesimpulan wajar jika banyak korban berjatuhan. Mulai dari penyeberang jalan yang tertabrak, kambing yang tewas di tempat, dan kucing yang hancur tergilas. Sekali lagi wajar dan wajar, karena pandangan terpusat pada tujuan atau target.

Ketidakpedulian makin sempurna ketika sejumlah angan merayap memenuhi pikiran: Kalau sudah sampai, saya bisa istirahat panjang. Kalau target terpenuhi, saya akan dikenal sebagai orang yang berprestasi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Angan-angan terus bergumul menenggelamkan kesadaran.

Sebenarnya, kesadaran ingin mengajak si empunya menikmati seribu satu kepedulian. Kepedulian tentang pepohonan jalan yang berteriak kurang air. Kepedulian soal nafas sebagian burung yang terbang dengan nafas tersengal. Dan kepedulian dengan deru mesin kendaraan yang tidak lagi normal.

Kalau saja kesadaran tidak tertimbun angan-angan. Kalau saja fokus tidak saja berpusat pada target. Kalau saja kecepatan laju kendaraan bisa selaras dan seimbang. Ah, kepedulian akan terasa begitu indah.

0 komentar:

Posting Komentar