Jumat, 25 Juni 2010

Puasa = Poso = Ngeposne Roso

Bagi orang Jawa, puasa adalah ritual yang biasa dilakukan. Bahkan konon, sebelum agama Islam yang menganjurkan manusia melakukan puasa masuk ke tanah Jawa, orang Jawa sudah biasa berpuasa. Namun puasanya tidak seperti yang diajarkan oleh agama Islam.

Banyak puasa yang dikenal oleh orang Jawa seperti poso mutih (puasa yang tanpa makan makanan yang berasa asin, manis, kecut dan lain-lain. Hanya makan nasi putih dan minum air putih selama 40 hari atau 3 hari yang memiliki hitungan 40 hari).

Ada lagi poso ngrowot (puasa yang hanya makan makanan ubi-ubian dan tumbuhan yang merambat. Seperti makan ketela, ubi dan lain-lain). Dan masih banyak lagi puasa-puasa yang dikenal di Jawa.

Setelah kedatangan Islam, akhirnya orang Jawa pun menjadi terbiasa dengan puasa ala Islam itu. Namun inti dari puasa ala Jawa dengan puasa ala Islam itu sama. Yaitu sama-sama sebagai upaya untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.

Namun sekarang ini banyak salah kaprah. Saat ini banyak orang yang menganggap puasa sebagai ibadah rutin tahunan. Nah, kalau orang sudah menganggap puasa itu sebagai ibadah rutin, maka ia mengerjakan puasanya juga seperti mengerjakan tugas rutinnya. Artinya, puasanya sekedar gugur kewajiban. Pokoknya sudah mengerjakan puasa, beres.

Orang yang seperti itu sudah dijelaskan dalam kitab Al Qur'an. yang artinya kurang lebih "Banyak manusia yang hanya menemukan kepayahan demi kepayahan dan tidak mendapatkan apa-apa selain kepayahan itu sendiri".

Lha bagaimana puasa itu supaya tidak mendapatkan kepayahan demi kepayahan? Ya...kita puasanya dengan hati. Orang Jawa mengenal tembung mathuk: Poso itu sama dengan ngeposne roso (mengeposkan rasa). Apa yang dimaksud ngeposne roso? Ngeposne roso itu adalah menaruh semua roso (rasa) dalam satu pos. Ada rasa iri, dengki, sakit hati, senang ngrasani, senang mengambil milik orang lain, semuanya rasa itu ditaruh dalam satu pos dan dikunci.

Kalau itu sudah terwujud, maka seorang manusia akan bisa berpuasa dengan menggunakan hatinya. Ia tidak lagi mengagungkan roso-roso yang kurang baik seperti yang telah disebutkan diatas, yang umumnya diatur oleh otak manusia. Dengan puasa menggunakan hati, berarti manusia itu kembali ke dalam kodratnya menjadi 0 (nol). Seorang manusia yang nol, insya Allah akan dekat dengan GUSTI ALLAH.

Apa yang dimaksud dengan nol? Yang dimaksud dengan nol, manusia itu merasa tidak memiliki apapun di dunia ini. Meskipun ia kaya, miskin, pandai maupun pas-pasan. Semuanya sama, merasa tidak memilikinya. Semuanya itu hanyalah titipan dari GUSTI ALLAH yang sewaktu-waktu bisa diambil si EMPUNYA.

Puasa itu tidak berhenti sampai Idul Fitri (kembali fitri/suci) saja. Setelah digembleng selama 1 bulan dengan puasa, menjadi manusia nol itu seharusnya terus ada dalam benak kita. Orang Jawa mengenal kata-kata "Ojo sok Rumongso, nanging kudu biso rumongso" (jangan sok merasa, tapi harus bisa merasa).

Nah, mudah-mudahan GUSTI ALLAH memberikan welas asih pada kita semua agar puasa kita senantiasa membuat kita menjadi manusia nol sehingga menjadi dekat dengan GUSTI ALLAH. Amien.

0 komentar:

Posting Komentar